Senin, 10 Agustus 2015

GEOLOGI KELAUTAN KAWASAN INDONESIA: Upaya Mendukung Pembangunan Kelautan di Abad 21 Menuju Kemandirian

http://indonesianmaritimecontinent.blogspot.com/2011/12/peningkatan-pemahaman-terhadap-tatanan.html

 


PENINGKATAN PEMAHAMAN TERHADAP 
TATANAN GEOLOGI KELAUTAN KAWASAN INDONESIA
Upaya Mendukung Pembangunan Kelautan
 di Abad 21 Menuju Kemandirian

Oleh:
Dr. Ir.  Hardi Prasetyo

Pidato Pengukuhan Ahli Peneliti Utama
(dipadatkan)

Bidang Geofisika Kelautan
Pada
Pusat Pengembangan Geologi Kelautan
Direktorat Jenderal Geologi dan Sumber Daya Mineral
Departemen Pertambangan dan Energi 
Bandung, 9 Maret 1998


PENINGKATAN PEMAHAMAN TERHADAP 
TATANAN GEOLOGI KELAUTAN KAWASAN INDONESIA
Upaya Mendukung Pembangunan Kelautan
 di Abad 21 Menuju Kemandirian


Assalamu’alaikum Warahmatullahhi Wabarakatuh

Yang terhormat Sidang Dewan Pengukuhan Ahli Peneliti Utama,

Hadirin yang saya muliakan

Pertama-tama, marilah kita penjatkan Puji Syukur ke Hadirat Allah SWT atas segala Rakhmat dan Hidayah-Nya yang telah dilimpahkan kepada kita semua, sehingga pada saat ini kita dapat mengahadiri upacara pengukuhan saya sebagai Ahli Peneliti Utama, Bidang Geofisika Kelautan di Pusat Pengembangan Geologi Kelautan, Direktorat Jenderal Geologi dan Sumber Daya Mineral, Departemen Pertambangan dan Energi.
Sebagai pemenuhan kewajiban untuk melakukan pidato pada pengukuhan ini, perkenankanlah saya mengemukakan uraian dan pandangan mengenai:
PENINGKATAN PEMAHAMAN TERHADAP 
TATANAN GEOLOGI KELAUTAN KAWASAN INDONESIA: 
Upaya Mendukung Pembangunan Kelautan
 Di Abad 21 Menuju Kemandirian
Memasuki abad ke 21, Iptek Kedirgantaraan telah memberikan kemampuan manusia berkelana di ruang angkasa dalam upaya merekam misteri di planet Bulan, Mars, di samping misi utamanya untuk memantau planet Bumi (The Earth Planet). 
Pemantauan terhahap planet Bumi telah memperkuat fakta bahwa planet tempat kita berpijak, bermukim, dan melaksanakan kehidupan ini, lebih tepat disebut sebagai planet lautan atau planet biru (blue planet), di mana duapertiga bagian ditutupi air asin (laut) sedangkan sepertiga lainnya merupakan daratan (pulau).
Kenyataan sampai saat ini menunjukkan bahwa, pemahaman terhadap dasar lautan dan lapisan-lapisan di bawah birunya air laut masih jauh tertanggal dibandingkan dengan daratan. Bahkan banyak bagian lautan yang hingga kini masih menjadi misteri, dan merupakan kawasan relatif kurang diketahui (frontier).
Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia yang pada tahun 1996 secara resmi dideklarasikan sebagai Benua Maritim Indonesia (BMI). Adalah sangat wajar bagi Bangsa dan Negara Indonesia untuk meningkatkan aspek geologi kelautan dimana di dalamnya mencangkup geofisika kelautan, bagi upaya mendukung pembangunan nasional berkelanjutan terutama di KTI.
KTI sebagai bagian dari BMI membentang di cakrawala katulistiwa dari Selat Makassar di sebelah barat hingga Samudera Pasifik di sebelah Timur, dan melintang selatan-utara dari Samudera Hidia, hingga Laut Sulawesi. Sementara itu pemahaman umum terhadap tatanan geologi kelautan KTI, telah terindentifikasi bahwa kawasan tersebut unik dan rumit.

Hadirin yang saya muliakan

Pada kesempatan ini saya ingin menguraikan hal-hal yang cukup mendasar untuk kita hayati bersama dalam rangka memperkokoh pemahaman kita terhadap tatanan geologi kelautan di Kawasan Timur Indonesia (KTI), sebagai suatu upaya berbasis ilmiah guna mendukung pembangunan kelautan di abad ke 21 menuju kemandirian. Saya akan mengkaitkan tantangan dan kendala yang kita hadapi dalam upaya untuk lebih membuka tabir misteri geologi kelautan KTI, dengan kondisi kekuatan aset nasional yang dimiliki Indonesia pada saat ini.
Bunga rampai keterkaitan saya pada beberapa ekspedisi geologi kelautan di KTI pada kurun waktu 1981-1995, akan digunakan sebagai informasi faktual terhadap tahap perkembangan Iptek geologi kelautan dari masa ke masa.
Selanjutnya saya mengusulkan penerapan zonasi atau regionalisasi tatanan geologi kelautan KTI dalam upaya menyediakan alat bantu mendukung pengelolaan dan pengembangan kawasan lautan secara lebih terpadu dan berkelanjutan. Kosep regionalisasi tersebut bersifat operasional sehingga dapat diselaraskan dengan perencanaan pembangunan aspek kelautan pada Pembangunan Jangka Panjang ke II (PJP II) yang akan memasuki tahapan PELITA VII, di mana cenderung berorientasi pada Kawasan Pengelolaan Regional (KAPER) lautan secara terpadu.

Hadirin yang saya muliakan

Kerumitan karakteristik fisik geologi kelautan KTI di satu pihak, dan masih terbatasnya kemampuan Indonesia dalam mengimplementasikan aspek geologi kelautan di kawasan tersebut di lain pihak, telah memberikan implikasi antara lain:
1.      Sebagian besar wilayah laut masih merupakan daerah frontier, di mana data dan informasi geologi kelautan yang tersedia masih belum memadai. 
Dari keseluruhan 60 cekungan sedimen Tersier di Indonesia, 37 cekungan diantaranya berkembang di KTI yang pada umumnya berukuran kecil, terletak pada laut dalam, dan masih berstatus belum dieksplorasi (dibor). 
Adapun cekungan di KTI yang telah dieksplorasi di lepas  pantainya  meliputi Cekungan Salawati/Bintuni, Aru, Membramo (Teluk Cendrawasih), Seram Utara dan Sula;
Peta Konfigurasi Benua Maritim Indonesia memperlihatkan Kawasan Timur Indonesia (KTI)
2.     Tahapan kegiatan geologi kelautan di KTI saat ini masih berada pada tahapan penghimpunan data dan pemecahan masalah ilmiah kebumian yang mendasar secara regional;
3.     Kegiatan pendayagunaan wilayah kelautan KTI menjadi usaha ekonomi melalui industri pertambangan dan energi kelautan masih relatif belum optimal, dan masih dilaksanakan secara setempat-setempat. 
Dalam kaitan ini, kegiatan eksplorasi migas lepas pantai mengalami perkembangan yang lebih progresif, ditandai dengan temuan-temuan lapangan migas baru di kawasan Celah Timor (tepian benua Australia) dan Teluk Cendrawasih, bila dibandingkan dengan perkembangan subsektor industri mineral kelautan dimana sampai saat ini belum diketahui secara pasti potensinya.
Dengan kondisi di atas, untuk mendayagunakan sumber daya alam tidak nonhayati yang terdapat di dasar laut dan lapisan-lapisan di bawah dasar laut KTI, masih dibutuhkan upaya  dan ketersediaan aset nasional yang mencakup aspek SDM, Iptek, Sarana-Prasarana. Data dan informasi dalam jumlah yang lebih besar baik secara kuantitatif maupun kualitatif.

Hadirin yang saya muliakan

Tumbuh dan berkembangnya Iptek geologi kelautan di Indonesia tidak terlepas dari perkembangan industri pertambangan dan energi, dan juga dipacu oleh minat yang sangat besar dari pihak lembaga penelitian geologi kelautan manca negara. 
Hal yang tidak kalah pentingnya adalah konsekuensi perkembangan konsep tektonik dunia baru yang telah diterima secara universal untuk menjelaskan pembentukan dan perkembangan BMI pada umumnya dan KTI pada khususnya.
Saat ini perkembangan geologi kelautan di Indonesia saya nilai telah mulai memasuki Tahap II dengan arah dan kecenderungan menuju kemandirian. Tahap ini terutama ditandai dengan mulai tersedianya beberapa elemen dasar yang dibutuhkan untuk dapat mengimplementasikan program-program geologi kelautan, meliputi: 
(1) Sumber daya manusia dengan berbagai strata pendidikan formal (teknisi, S1, S2, dan S3) yang khusus berlatar belakang geologi dan teknologi kelautan; 
(2) Tersedianya kapal riset yang khusus dirancang untuk melakukan survei geologi kelautan, walaupun masih dalam jumlah yang belum memadai, dan dengan teknologi pengambilan data yang relatif masih konvensional (analog); 
(3) Adanya instansi dan lembaga yang mempunyai tugas dan fungsi khusus berkaitan dengan aspek geologi kelautan, diantaranya Pusat Pengembangan Geologi Kelautan (PPGL); dan 
(4)  Tersedianya program kegiatan dengan dana penunjang yang bersumber dari APBN.
Pada perkembangan Tahap I (awal), mulai dari penyusunan proposal penelitian, wahana kapal riset, pemilihan teknologi tepat guna, pakar, teknisi, dan anggaran terutama yang bersumber dari manca negara. Dalam hubungan ini, pihak Indonesia lebih berperan sebagai pendamping.
Pada awal dari Tahap ke II (dua), program kegiatan geologi kelautan di KTI masih diwarnai oleh kegiatan berorientasi pada inventarisasi data dan informasi untuk memecahkan masalah ilmiah mendasar yang spesifik dengan lokasi tersebar dipilih mewakili studi kasus tertentu.
Berkembangnya usaha ekonomi kelautan melalui industri pertambangan dan energi yang kokoh harus didukung oleh tersedianya data dan  informasi geologi kelautan yang memadai, dimana memasuki abad ke 21 akan semakin meningkat kebutuhannya. 
Untuk mengantisipasi hal tersebut, maka kegiatan penelitian dan pengembangan aspek geologi kelautan perlu ditingkatkan dan disempurnakan kembali.
Kegiatan inventarisasi dan evaluasi prospek sumber daya alam serta bencana alam geologi secara regional Dan terpadu telah saya rintis sejak tahun 1984, antara lain melalui program kompilasi data dan informasi geologi/geofisika kelautan dalam format atlas, dan sejak tahun 1990 telah ditingkatkan menjadi format digital berbasis Sistem Informasi Geografi (SIG).
Untuk menyingkap tabir misteri geologi kelautan di KTI, misi kegiatan geologi kelautan dilaksanakan untuk: 
(1)     Menginventarisasikan data dan informasi yang sebanyak-banyaknya dan seakurat mungkin melalui kegiatan survei, penelitian dan pemetaan; 
(2)     Mengidentifikasi karakteristik geologi dan geofisikanya;
(3)     Menafsirkan dan mengevaluasi proses-proses geologi yang sedang, telah, dan akan berlangsung dalam proses pembentukan wilayah laut KTI; dan
(4)     Mengklasifikasikan dan menentukan regionalisasi atau zonasi yang selanjutnya dipergunakan untuk memperkirakan prospektif dari potensi sumber daya alam nonhayati yang terkandung di dasar laut dan lapisan-lapisan dibawahnya, serta potensi bencana alam geologi yang mungkin terjadi.
Saat ini, untuk mengimpelementasikan metoda geofisika kelautan baik untuk menunjang kegiatan survei, pemetaan dan penelitian, dan khususnya untuk kegiatan eksplorasi dan eksploitasi yang berorientasi lebih ke hilir (industri), Indonesia masih memerlukan dukungan teknologi dari luar negeri. Kapal riset yang mempunyai kemampuan beroperasi di daerah laut dalam saat ini hanya satu yaitu K/R Baruna Jaya III (dikelola BPPT). 
Namun kapal tersebut belum memiliki peralatan geofisika yang memadai, misalnya peralatan survei geofisika secara underway yang terdiri dari komponen gayaberat, magnet dipadukan dengan data batimetri, dan bekerja secara simultan pada saat kapal bergerak.
Peralatan seismik refleksi masih terbatas pada teknologi saluran tunggal yang direkam secara analog, merupakan teknologi awal tahun 70-an. Peralatan geofisika lainnya yang belum dimiliki atau belum bekerja secara optimal adalah seismik refraksi untuk mengukur ketebalan lapisan bumi, dan aliran panas untuk mengukur gradient temperatur serta konduktivitas panas yang berasal dari dalam bumi.
Upaya untuk mengatasi kendala prasarana kapal riset khusus berdedikasi mendukung program eksplorasi geologi di Kawasan Timur Indonesia telah dirintis PPGL dengan menyiapkan kapal survei generasi baru MAGEX (Marine Geological Exploration)
Demikian pula PPPO-LIPI akan mengoperasikan kapal serba guna geologi kelautan tahun 1998 (K/R Baruna Jaya VIII dan X). Sedangkan BPPT akan meningkatkan wahana K/R Baruna Jaya V pada tahun 1999 sehingga dapat mendukung kegiatan eksplorasi industri migas dan mineral, terutama di bagian luar Benua Maritim Indonesia.

Hadirin yang saya muliakan

Untuk mendapatkan gambaran secara aktual perkembangan penerapan Iptek geologi kelautan di KTI, berikut ini divisualisasikan beberapa hal signifikan terutama berdasarkan data dan informasi bersumber dari ekspedisi geologi kelautan yang pernah saya ikuti pada kurun waktu 1981-1995:
*           Inovasi Kompilasi Data-Informasi Geologi dan Geofisika Laut Banda, data pemeruman konvensional berfrekuensi 3,5 dan 12 kHz di Laut Banda dan sekitarnya telah di kompilasi menjadi peta eko-karakter. 
Peta ini merupakan yang pertama dikembangkan di KTI. Demikian pula data sedimen permukaan pemercontoh hisap (piston cores) berasal dari berbagai ekspedisi sebelum tahun 198, untuk pertama kalinya telah disusun kembali pada suatu standar klasifikasi sedimen yang berlaku secara internasional. 
Peta eko-karakter tersebut dipadukan dengan peta sedimen permukaan, selanjutnya memberikan gambaran proses pengendapan sedimen dekat permukaan dasar laut Laut Banda dan sekitarnya. 
Hasil inovasi tersebut telah saya himpun kembali dalam format atlas (Atlas PPGL No.1), yang didalamnya termasuk data dan informasi geofisika Laut Banda, KTI.
*           Ekspedisi SONNE-18, merupakan kerjasama PPPG dan BGR (Jerman) pada than 1981 di Cekungan Aru dan Cekungan Makasar Selatan. Metode geofisika yang digunakan adalah seismik refleksi bersaluran ganda, seismik refraksi dengan sonobuoy, magnet dan gaya berat. 
Selanjutnya dapat diketahui secara lebih rinci kerangka struktur pemekaran (ekstensi) pada deposener dan sayap timur, serta deformasi sesar naik di sayap barat Cekungan Aru. Di Cekungan Makasar Selatan telah dapat memperjelas struktur perenggangan dan kecepatan gelombang seismik pada lapisan-lapisan sedimen dan batuan dasar. 
Data ini selanjutnya memberikan bukti-bukti baru bahwa Cekungan Makasar Selatan dialasi oleh kerak tipe transisi yang berpeluang bagi terakumulasinya migas.
*           Ekspedisi KANA KEOKI-38, untuk pertama kalinya di Indonesia diterapkan teknologi pemetaan melebar sistem SeaMARC II di KTI (Cekungan Flores, selatan Sumba, baratlaut Wetar, selatan Timor, dan Punggungan Banda). 
Sistem ini mampu menghasilkan peta batimetri yang digambar secara otomatis dengan komputer, disamping merekam citra side-scan dengan cakupan lebar maksimum 20 km setiap lintasan. 
Data mosaic side-scan sonar dipadukan dengan penampang seismik refleksi beresolusi tinggi, telah memperjelas kerangka geologi dan tektonik Sistem Busur Banda secara lebih rinci. Pada Ekspedisi Kana Keoki tersebut juga untuk pertama kalinya berhasil didapatkan Contoh batuan dredging di sekitar Laut Banda. 
Analisis Contoh batuan dredging telah memberikan visi baru, bahwa Sistem Punggungan Banda merupakan wujud keratin tepian benua Australia yang telah tenggelam pada sistem Laut Banda. Temuan ini selanjutnya telah dipadukan dengan hasil evaluasi data geofisika Laut Banda antara lain gaya berat, anomaly magnet aliran panas, seismik refleksi dan refraksi. 
Di samping ini, juga telah dilakukan analisis geohistori dengan menerapkan metode backstripping terhadap contoh batuan secara regional dari pulau-pulau Sula, Buru, Misool, Sumba, Cekungan Sumba, Cekungan Banda, Scott Plateau(tepian benua Australia), dan Cekungan Wharton (Samudera Hindia). 
Data set dari dataran dan lautan tersebut selanjutnya melandasi Perumusan konsepsi pembentukan Laut Banda sebagai “Indo-Borderland Marginal Sea” dengan mekanisme yang saya sebut sebagai ”Tektonik Karate KTI”.
*           Ekspedisi TORAJA-91, untuk pertama kalinya saya mendapat kesempatan merancang sekaligus memimpin Ekspedisi Toraja-91 dengan K/R Baruna Jaya III (dikelola BPPT). Ekspedisi ini dilaksanakan di Cekungan Makasar Selatan dan Doang Borderland menerapkan geofisika yaitu, pemeruman, seismik refleksi dan magnet. 
 Pada ekspedisi ini untuk pertama kalinya saya menerapkan Sistem Informasi Geografi (SIG) untuk mengelola hasil pengambilan data di kapal. Ekspedisi ini telah memperjelas kerangka struktur geologi di sekitar Cekungan Makasar Selatan dan hubungannya dengan tatanan geologi “Doang Borderland” serta Cekungan Bali-Palung Lombok. 
*           Ekspedisi BIRP-92, saya telah berpartisipasi aktif dalam merancang maupun mengimplementasi Ekspedisi BIRP-1992 yang merupakan kerjasama PPGL dengan Universitas Cambridge (Inggris). Ekspedisi ini untuk pertama kalinya mengimplementasikan teknologi penampang seismik berpenetrasi dalam di KTI, bahkan di Asia. 
Metode ini mampu menembus lapisan-lapisan di bawah dasar laut hingga mencapai kedalaman maksimum 60 km, atau dengan penetrasi antara 25-40 detik (waktu rambat dua arah). 
Sebagai perbandingan, teknologi penampang seismik untuk penelitian ilmiah selama ini hanya mampu menembus 3-5 detik, sedangkan pada industri migas sekitar 5-7detik. Hasil penting dari studi ini antara lain memperjelas arsitektur struktur dalam termasuk geometri MOHO dan litosfera Laut Banda hingga tepian benua Australia.
*           Ekspedisi TST-93, kerjasama PPGL dengan ASGO (Australia) menerapkan teknologi penampang seismik dalam dengan standar industri migas berpenetrasi 16 detik di kawasan Zona Kerjasama Celah Timor. 
Hasil penerapan teknologi ini telah berhasil memberikan informasi secara lebih jelas terhadap arsitektur struktur dalam berupa deformasi tipe ekstensi membentuk struktur perenggangan (Paleozoikum dan Mesozoikum) di kawasan Zona Kerjasama Celah timor yang terletak pada sistem Cekungan Bonaparte baratlaut tepian benua Australia. 
Hasil nyata ekspedisi TST-93 telah digunakan sebagai penuntun bagi kegiatan eksplorasi migas, yang ternyata telah meningkatkan rasio keberhasilan.
*           Ekspedisi RUT-95, dilaksanakan  menggunakan K/R Baruna Jaya III, dalam kerangka Riset Unggul Terpadu (RUT) yang merupakan kerjasama BAPPENAS, BPPT, DRN, LEMIGAS, PERTAMINA dan PPGL, bertujuan untuk memperjelas hubungan antara perkembangan geologi dan prospek migas di pojok timur sistem Sunda Shield, khususnya pada Cekungan Selayar.
 Ekspedisi ini untuk pertama kalinya berhasil mengambil contoh batuan dredging di sekitar lepas pantai selatan Sulawesi (Doang Borderland), di samping mendapatkan data baru seismik refleksi bersaluran tunggal di sektor Cekungan Selayar dan Cekungan Flores. 
Hasil Ekspedisi ini telah memberikan bukti tambahan berkaitan dengan pembentukan struktur ekstensi dan proses reaktivasi yang memegang peranan penting bagi kemungkinan terakumulasinya migas di tepian Sulawesi selatan. 
Disamping itu dapat memperjelas hubungan tektonik antara Cekungan Makasar Selatan, Cekungan Selayar dan Sub-Cekungan Lombok.

Hadirin yang saya muliakan

Tidaklah berlebihan bila dikatakan bahwa tatanan geologi kelautan KTI merupakan salah satu kawasan yang paling rumit di jagat ini, dan merupakan zona tumbukan tektonik yang sangat signifikan. Kerumitan ini sebagai perwujudan konvergensi antar lempeng litosfera yang melibatkan Lempeng India-Australia yang bergerak relatif ke Utara; Lampeng Samudera Pasifik ke Baratlaut; dan Lempeng Asia Tenggara (Eurasia) relatif stabil.
Keunikan serta kerumitan tatanan geologi kelautan di KTI dapat disintesiskan sebagai berikut:
1.           Empat jenis tumbukan tektonik terdapat di KTI, sebagai hasil konvergensi antara: 

a.    T epian Benua Australia dengan Busur Banda; 

b.    Busur Sengihe dengan Busur Halmahera; 

c.     Keratan tepian benua Australia dengan busur Sulawesi yang selanjutnya membentuk zona tumbukan P. Buton dan P. Sula; dan 

d.   Gunung api bawah laut dengan Busur gunung api Wetar.

2.           Tatanan geologi di Cekungan Makasar, Doang Boarderland, sub-Cekungan Lombok, Cekungan Bali, Palung Lombok dan Cekungan Flores telah membentuk mega regional bagian dalam kawasan Timur Indonesia yang merupakan zona transisi antara sistem Paparan Sunda (barat) dengan laut Banda (timur). Empat perioda aktivitas tektonik telah diidentifikasikan, yang secara keseluruhan merupakan deformasi multi fase, yaitu : 

a.    Mezozonik, tipe kempresif di tepian “Sunda Shield”;

b.    Paleogen, tipe ekstensi membentuk struktur perenggangan di cekungan Makasar, Doang Boarderland, dan sub-Cekungan Lombok; 

c.     Pliosen, tipe transpresif sebagai perwujudan proses tumbukan tektonik antara benua Australia dengan Busur Sunda, disamping tumbukan topografi plateausamudera di Parit Sunda.

3.           Tepian utara sistem pojok timur Busur depan Sunda (sektor cekungan Lombok-Punggungan Sumba) diidentifikasikan dialasi oleh batuan dasar tipe kerak perenggangan sebagaimana didapatkan di sektor belakang (sektor Cekungan Bali-Lombok).
4.           Hadirnya keratan tepian benua Australia dan keratan cekungan samudera di Laut Banda yang berumur relatif lebih tua dari sistem Busur Banda, menunjukkan bahwa proses tumbukan di KTI berasosiasi dengan mekanisme pengeratan, pemindahan, penenggelaman, dan pemerangkapan bagian lempeng litosfera yang berasal dari tempat lain (fragmen batuan asing).
5.           Kerangka geologi kelautan di sektor tepian Irian Jaya, dan di sekitar Laut Maluku sangat dipengaruhi oleh sistem tepian Laut Carolina dan cekungan tepian Filipina Barat (sistem Samudera Pasifik), yang mempunyai hubungan erat dengan tatanan geologi di kawasan Pasifik Barat (Filipina, Taiwan, dan Jepang).

Hadirin yang saya muliakan

Berdasarkan data informasi yang dihasilkan dari sejumlah ekspedisi geologi kelautan yang telah saya ikuti, termasuk memadukan data dan informasi dari beberapa ekspedisi lainnya, selanjutnya telah dapat menyediakan landasan ilmiah bagi saya untuk mengembangkan zonasi atau regionalisasi tatanan geologi kelautan KTI. 
Zona-zona tersebut mencerminkan perbedaan dalam karakteristik fisik, perkembangan, asal-usul pembentukannya, maupun potensi sumberdaya alam nonhayati dan bencana alam geologi.
Selanjutnya tatanan geologi kelautan KTI dikelompokkan menjadi dua Mega Regional: 

1.          Mega regional sisi luar KTI, merupakan zona konvergensi aktif melibatkan lempeng litosfera Hindia-Australia, Laut Carolina, Laut Filipina Barat (keduanya dari sistem Samudera Pasifik), Laut Sulawesi dengan lempeng Eurasia; dan 

2.          Mega regional bagian dalam KTI disetarakan dengan sistem cekungan tepian dan atau cekungan busur belakang.

Mega regional bagian luar KTI terdiri dari zona-zona: (1) Lombok-Sumba; (2) Timor-Aru; (3) Tepian Irian Jaya; (4) Laut Filipina Barat; (5) Laut Maluku; dan (6) Cekungan Sulawesi.
1.                  Zona Lombok-Sumbamerupakan zona transisi dari penunjaman kerak samudera Hindia bagian timur di sepanjang Parit Sunda (Busur Sunda), dimana ke arah timur menjadi zona tumbukan tepian benua Australia dengan Busur KTI sepanjang Palung Timor (Busur Banda). 
Cekungan Busur muka Lombok yang terletak pada bagian paling barat Busur Sunda. Selama ini ditafsirkan dialasi oleh pemerangkapan kerak samudera tua. 
Pemikiran baru yang saya kembangkan bersama pakar dari Belanda dan Amerika Serikat bahwa Cekungan Lombok didasari oleh kerak perenggangan  yang berasal dari tepian tenggara sistem Sunda Shield
Pulau Sumba merupakan keratan benua yang terperangkap pada ujung timur Busurmuka Sunda (Cekungan Lombok) san Busurmuka Banda (Cekungan Sawu). P. Sumba diperkirakan sebagai bagian dari keratan sistem Sunda Shield.
Sementara itu, P. Sawu yang terletak diantara P. Sumba dan P. Timor dibentuk  oleh batuan yang sangat berbeda yaitu tipe mélange yang dihasilkan oleh mekanisme pembagian akrasi dimana melibatkan elemen Scott plateauyang merupakan bagian baratlaut dari tepian benua Australia.
2.                  Zona Timor-Aru, merupakan konvergensi tepian benua Australia sepanjang Palung Timor dan Cekungan Aru. 
Laut Timor sendiri termasuk bagian Cekungan Bonaparte, dibentuk oleh dua fase perenggangan Paleozoikum dan Mesozoikum. 
Berdasarkan studi penampang seismik dalam (BIRP-92 san TST-93) dapat diidentifikasikan proses tektonik perenggangan tua yang beberapa diantaranya teraktifkan kembali menjadi struktur inverse. 
Proses tektonik di kawasan Cekungan Bonaparte telah saya analogikan dengan proses multifase deformasi yang terjadi pada kawasan Doang Borderland di bagian tenggara sistem Sunda Shield. 
Sistem Paparan Sahul di Laut Timor merupakan salah satu kawasam prospektif terhadap sumberdaya migas di lepas pantai KTI.
3.                  Zona Tepian Irian Jaya, kerak samudera cekungan tepian Carolina (subsistem Samudera Pasifik) mengalami konvergensi  dengan tepian timurlaut Irian Jaya. Kawasan ini masih sangat kurang data dan informasinya.
 Bencana alam geologi berupa tsunami juga pernah terjadi secara signifikan di kawasan ini (Tsunami Biak).
4.                  Zona Laut Filipina Barat, terletak di bagian timurlaut KTI membentuk zona konvergensi dengan tepian timur Halmahera sepanjang Parit Filipina. 
Mengingat lokasinya yang sangat jauh (pojok timurlaut BMI), zona ini belum banyak dipelajari oleh pakar kebumian Indonesia.
5.                  Zona Laut Maluku, merupakan zona tumbukan yang melibatkan Busur Sangihe di sebelah barat dengan Busur Halmahera di sebelah timur. 
Kepulauan Talaud dibentuk oleh pemerangkapan kerak samudera Filipina Barat yang saat ini mengalami deformasi kuat dan membentuk batuan tektonik (mélange). 
Kawasan Laut Maluku saat ini tercatat sebagai kawasan yang paling kaya di dunia dengan fenomena gempa bumi. Sementara itu, di bagian tenggara P. Halmahera berkembang cekungan sedimen. 
Data yang dihasilkan dari teknologi Airbone Laser Flouresensor (ALF) menunjukkan indikasi rembesan migas, menjadikan zona ini sebagai salah satu kawasan potensial yang perlu dibuktikan lebih lanjut melalui kegiatan penelitian.
6.                  Zona Cekungan Sulawesi, merupakan cekungan tepian yang berkembang di utara Sulawesi Utara, dibentuk pada Eosen di tepian Cina. Cekungan tepian Sulawesi Utara dan menghasilkan gunung api Una-Una di Cekungan Gorontalo.
Mega Regional bagian dalam KTI dari barat ke timur ditempati oleh zona-zona: (7) Makasar; (8) Bali-Lombok; (10) Banda; dan (11) Gorontalo.
7.                  Zona Makassar,  terdiri dari dua sistem Cekungan Makassar  Selatan dan Makassar Utara. Saya mengusulkan bahwa Cekungan Makassar Selatan dialasi oleh kerak transisi yang dicirikan oleh berkembangnya struktur  Palung Doang, yang selanjutnya dimodifikasikan oleh struktur sesar normal berarah timur-barat di sub-Cekungan Lombok. 
Pada bagian timur sistem cekungan, berkembang struktur inverse. Hadirnya struktur sesar normal dan inversi (diantaranya berupa struktur antiklin) dapat berperan sebagai  perangkap struktur bagi terakumilasinya migas. 
Hal ini diperkuat oleh adanya indikasi ALF positif di sayap timur Cekungan Makassar Selatan merupakan Doang Borderland terdiri dari sistem paparan yang diselingi morfologi palung (trough).
8.                  Zona Bali-Lombok, merupakan cekungan laut dalam yang berkembang pada Busur belakang sektor Bali-Lombok. 
Data Seismik refleksi Cekungan Bali menunjukkan tahap awal berkembangnya struktur kompresif, disebut sebagai Lipatan Bali. Lebih ke timur dari Cekungan Bali adalah Palung Lombok dimana deformasi lebih meningkat intensitasnya. 
Sementara itu di utara Cekungan Bali dan Palung Lombok berkembang sub-cekungan Lombok. Data Seismik refleksi memperlihatkan berkembangnya struktur rift berumur Paleogen yang selanjutnya teraktifkan kembali menjadi struktur inverse sebagaimana yang terjadi pada Cekungan Makassar.
Pemboran sumur eksplorasi di kawasan ini menunjukkan indikasi terdapatnya hidrokarbon. 
9.                  Zona Flores, merupakan transisi dari sistem Paparan Sunda ke sistem Cekungan Banda. 
Cekungan Flores mempunyai kedalaman maksimum mencapai lebih dari 5000 m. data mosaik side scan sonar SeaMARC II dipadukan dengan rekaman seismik refleksi telah dapat memetakan struktur alur sesar naik.
Data dan informasi geofisika kelautan yang telah dipadukan menunjukkan bahwa di Cekungan Flores telah berlangsung pembalikan sistem Busur, dimana batuan dasar tipe kerak samudera di sayap selatan Cekungan Flores menunjam ke Selatan (ke arah pulau gunung api Flores). 
Fenomena ini mempunyai implikasi terhadap potensi bencana alam Tsunami (contoh Tsunami Flores). 
Di pihak lain, di Sektor utara Cekungan Flores (tepi Cekungan Selayar) didapatkan indikasi positif ALF, sementara itu di Cekungan Bone (sektor Sulawesi Tenggara) ditemukan indikasi mineral tempaan emas (Ekspedisi Bone-1992).
10.              Zona Banda, merupakan cekungan tepian terluas di pojok timur KTI. Berdasarkan penafsiran data geofisika (gaya berat, magnet, aliran panas, seismik refraksi dan refleksi) dihasilkan sampai pada tahun 1983, dan telah dipadukan dengan data geologi contoh batuan dredging hasil ekspedisi Kana Keoki-83 yang kemudian saya mengusulkan bahwa Laut Banda merupakan cekungan tipe Indo-Borderland. 
Laut Banda tidak terbentuk oleh mekanisme pemekaran Busur belakang yang umum diusulkan untuk cekungan tepian yang berkembang di zona Busur belakang. Namun laut belakang terbentuk oleh kombinasi mekanisme pemekarangkapan kerak samudera tua berasal dari Cekungan Wharton (Samudera Hindia) dan keratan lempeng Australia yang membentuk sistem Punggungan Lucipara.
Pemodelan yang saya lakukan terhadap parameter kedalaman kerak samudera dengan metoda backstripping menunjukkan bahwa, umur kerak samudera Lau Banda lebih muda daripada yang diusulkan dengan kelurusan kemagnitan. 
Hasil penafsiran penampang seismik dalam yang dilakukan dari Cekungan Banda ke tepian benua Australia di Laut Timor (BIRP-92), telah memberikan suatu wawasan baru terhadap mekanisme pembentukan gunung api bawah laut yang berkembang di Laut Banda pada umumnya, dan Gunung Api pada khususnya. 
Pembentukan Gunung Api ditafsirkan berhubungan dengan mekanisme leaky transform, dimana magma telah menerobos struktur sesar geser.
Analisis petrografi dan paleontologi memberikan bukti baru bahwa sistem Punggungan Banda terdiri dari batuan jenis tepian benua Australia (Paleozoikum-Paleogen) yang diterobos oleh aktivitas vulkanisme berumur sekitar 7 juta tahun. 
Himpunan batuan tepian Benua Australia mempunyai kesamaan dengan urutan batuan tipe perenggangan-pengapungan tepian benua yang didapatkan dengan Formasi Tamrau di Irian Jaya. 
Hadirnya keratan tepian benua Australia memberikan implikasi terhadap prospek migas di tepian Sulawesi Timur dan di utara Busur Banda. 
Misteri asal usul dan pembentukan Lat Banda yang saat ini masih menjadi hal kontroversi dan hanya dapat dipecahkan secara ilmiah dengan melakukan Pemboran Laut Dalam (Ocean Drilling Program), untuk itu saya telah mengusulkan kembali tiga lokasi Pemboran.
11.             Zona Cekungan Gorontaloterletak antara Cekungan Sula di selatan dan Cekungan Sulawesi di utara, dipisahkan dengan Cekungan Sula oleh tepian keratan kontinen Sula. 
Terdapatnya struktur serta indikasi ALF positif pada sayap selatan menempatkan zona ini untuk diteliti dan dieksplorasi pada masa mendatang, di samping perlunya pengkajian bencana alam tsunami.

Hadirin yang saya muliakan

Dalam kegiatan inventarisasi dan evaluasi potensi sumberdaya alam nonhayati kelautan yang dilaksanakan melalui kegiatan penelitian, survei dan pemetaan keberhasilannya sangat ditentukan baik oleh kualitas maupun kuantitas unsur-unsur sumberdaya manusia (SDM), IPTEK (geologi, geofisika, dll.) yang relevan, sarana (kapal riset beserta peralatan pengambil data yang memadai), prasarana (pengolahan data dan informasi), dukungan dana yang memadai, kelembagaan dan  organisasi.
Mengingat KTI sebagian besar memiliki medan laut yang berat dan didominasi laut dalam, mempunyai tatanan geologi yang rumit, sebagian masih merupakan kawasan frontier dengan data dan informasi yang terbatas, sehingga memerlukan perencanaan strategi yang seyogyanya memperhatikan hal-hal berikut:
v Peningkatan sumberdaya manusia (SDM) harus diprioritaskan untuk semua strata baik peneliti, ahli teknik, teknisi, maupun awak kapal riset. Kesemua unsur SDM di atas harus merupakan suatu tim kerja yang kokoh disertai motivasi dan semangat yang kuat untuk menghadapi tantangan laut KTI yang seringkali tidak ramah;
v Ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) geologi kelautan yang diterapkan di kawasan laut KTI harus dapat mengantisipasi kerumitan tatanan geologinya, yang tidak dapat diselesaikan baik menggunakan konsep tektonik lempeng yang telah dan senantiasa perlu diaktualisasikan dengan memperhatikan kondisi-kondisi khusus, dimana sebagian besar KTI merupakan perwujudan dari tektonik tumbukan yang melibatkan lempeng-lempeng litosfera utama dan keratan mikro;
v Sampai saat ini teknologi geofisika kelautan yang diterapkan di KTI, merupakan titik lemah Indonesia, karena beberapa faktor seperti yang telah saya sebutkan di atas. 
Oleh karena itu sudah sewajarnya untuk mendapatkan perhatian secara khusus. Teknologi pengambilan data geofisika yang digunakan pada kapal riset harus dapat beroperasi baik pada kawasan laut dangkal (landas kontinen), maupun pada kawasan laut dalam. 
Di samping itu harus mampu mengantisipasi terdapatnya litosfera yang bervariasi diantara kerak-kerak litosfera jenis kontinen, transisi, volkanis dan samudera. 
Metoda seismik digital bersaluran ganda yang selama ini belum dimiliki oleh lembaga penelitian geologi kelautan di Indonesia sudah sewajarnya diprioritaskan pengadaannya, mengingat metoda ini dapat menghasilkan data penampang seismik yang dapat langsung ditafsirkan oleh ahli geologi kelautan untuk mengetahui tatanan struktur dan stratigrafi lapisan-lapisan di bawah dasar laut. 
Sementara itu metoda survei geofisika secara underway yang mengintegrasikan gaya berat, magnet, batimetri dan navigasi (merupakan standar internasional untuk penelitian geosain kelautan), sampai saat ini masih belum dimiliki oleh peneliti Indonesia. Oleh karena itu harus segera diprioritaskan pengadaannya.
v Walaupun indikasi mineral telah dapat diketahui, seperti keberadaan emas di Teluk Bone, dan bahan galian industri (pasir dan kerikil) di Laut Cina Selatan, kerak mangan di Laut Banda, namun potensi yang sebenarnya belum dapat diketahui dengan pasti. Untuk itu, di masa datang diperlukan kajian lebih rinci untuk menginventarisasi dan evaluasi potensi mineral tersebut.
v Keberadaan data dan informasi geologi kelautan KTI sampai saat ini masih tersebar di beberapa lembaga di dalam dan luar negeri. 
Upaya pemaduan tahap awal telah dirintis oleh PPGL dengan melakukan kompilasi Atlas Digital Geologi dan Geofisika Kelautan pada kawasan terpilih di KTI dengan sekala regional 1:1.000.000. 
Data dan informasi tersebut perlu ditingkatkan dengan penyusunan ke dalam Sistem Informasi Geografi Geologi Kelautan Terpadu Kawasan Timur Indonesia (SIG  GL-KTI). 
Sistem ini arus memadukan seluruh potensi yang ada secara nasional baik dari lembaga pendidikan maupun industri migas dan mineral.
v Bunga rampai dari pelaksanaan program geologi kelautan yang telah saya ikuti di KTI selama kurang lebih tujuh belas tahun, baik dari keikutsertaan secara aktif pada beberapa ekspedisi geologi kelautan, maupun berdasarkan pembelajaran berbagai sumber lainnya, telah menyediakan landasan konseptual dan operasional untuk:
1.     Menginventarisasi dan mengevaluasi tahap perkembangan geologi kelautan dari masa ke masa pada umumnya dan penerapan teknologi, metodologi, serta konsepsi Iptek geologi kelautan pada khususnya. 
Hal ini merupakan alat bantu dalam memilih alternatif operasionalisasi iptek yang tepat untuk diterapkan pada kawasan laut KTI;
2.     Memetakan kekuatan dan kelemahan Indonesia saat ini dalam mengoperasionalkan kegiatan geologi kelautan;
3.     Mengembangkan basis data dan informasi geologi dan geofisika serta dasar pemahaman ilmiah berkaitan dengan prospek sumberdaya alam nonhayati dan bencana alam geologi;
4.     Mempertimbangkan zonasi geologi kelautan regional yang relevan dengan upaya pendayagunaan dan pengelolaan kawasan laut KTI menjadi usaha-usaha ekonomi, diselaraskan dengan dinamika yang berkembang pada sistem PJP II, dan khususnya REPELITA VII (sedang dirumuskan).

Hadirin yang saya muliakan

Dalam menghadapi abad 21 menuju kemandirian, rencana kegiatan yang berkaitan dengan inventarisasi dan evaluasi potensi sumberdaya alam nonhayati, bencana alam geologi serta aspek lingkungan pada KTI seyogyanya memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1.           Dalam waktu secepatnya, tahap kegiatan aspek geologi kelautan di KTI yang selama ini lebih berorientasi pada penghimpunan data untuk pemecahan masalah-masalah ilmiah mendasar, harus dialihkan pada kegiatan yang lebih berorientasi untuk mendukung perencanaan, pengembangan, serta pengelolaan wilayah laut;
2.           Kegiatan aspek geologi kelautan di KTI yang selama ini dilaksanakan secara parsial, harus diintegrasikan ke dalam suatu kesatuan program nasional geologi kelautan KTI. Dalam kaitan ini, implementasi iptek geologi kelautan harus dapat menyatukan seluruh aset nasional meliputi: SDM, IPTEK, Prasarana, Kelembagaan & Organisasi (lembaga pemerintah, non-pemerintah, pendidikan tinggi, swasta, dan industri), dan data & informasi;
3.           Memasuki PELITA VII diharapkan program yang berkaitan dengan inventarisasi dan evaluasi potensi sumberdaya alam nonhayati melalui kegiatan penelitian, survei dan pemetaan, seyogyanya diimplementasikan ke dalam Zona Geologi Regional yang  relevan dengan kawasan Pengembangan dan Pengelolaan Regional (KAPER), termasuk di dalamnya skala prioritas dan pentahapannya. 
Zonasi atau regionalisasi berdasarkan karakteristik serta tatanan geologi regional yang spesifik, serta tingkat ketersediaan data dan informasi yang ada akan lebih mengoptimalkan upaya baik yang berorientasi pada pendayagunaan dan pemanfaatan zona-zona tersebut menjadi usaha ekonomi melalui industri pertambangan dan ekonomi kelautan, maupun melalui perumusan strategi dan mitigasi bencana alam geologi serta lingkungan pesisir dan laut. 
Adapun Zona dan atau Kawasan Pengelolaan Regional (KAPER) yang saya usulkan adalah: (1). Bagian Luar KTI, mencakup KAPER: 1.1. Lombok-Sumba; 1.2. Timor-Aru; 1.3. Irian Jaya; 1.4. Halmahera; 1.5. Maluku; 1.6. Sulawesi; dan (2). Bagian dalam KTI, mencakup KAPER: 2.7. Makassar; 2.8. Bali-Lombok; 2.9. Flores; 2.10. Banda; dan 2.11. Gorontalo.
4.           Prioritas kegiatan geologi kelautan di KTI seyogyanya diprioritaskan pada kawasan yang telah memperlihatkan bobot prospektif yang lebih layak, pada kedalaman maksimum 1000 m, dan mempunyai keterkaitan terhadap bobot aspek non-geologis dari KAPER, yang harus ditumpang-tindihkan terhadap zonasi geologi. Namun sampai saat ini belum dapat dihasilkan penentuan KAPER secara terintegrasi.
5.           Kelemahan kemampuan Indonesia dalam teknologi geofisika kelautan secara khusus dan ketersediaan kapal riset yang mampu bekerja di KTI dalam jumlah yang memadai, antara lain dapat diantisipasi bekerjasama dengan lembaga-lembaga geologi kelautan internasional. 
Namun dalam pelaksanaannya, harus mengimplementasikan program-program yang sebetulnya telah disusun oleh pihak Indonesia. 
Pengalaman  selama ini (pada Perkembangan Tahap I) menunjukan bahwa, kerjasama penelitian aspek geologi kelautan dengan pihak internasional hampir sebagian besar dilaksanakan dengan proposal ilmiah dan rencana operasi yang dibuat oleh lembaga internasional tersebut;
6.           Tersedianya teknologi informasi Sistem Informasi Geofisika (SIG) beserta jaringan global (Internet) diharapkan dapat didayagunakan secara optimal dalam upaya mempercepat laju penghimpunan serta yang tidak kalah pentingnya memasyarakatkan aset data dan informasi geologi kelautan KTI melalui wahana Jaringan SIGNET-GLKTI.

Hadirin yang saya muliakan

Pada kesempatan yang sangat baik ini, perkenankanlah saya mengajak hadirin bersama untuk memberikan perhatian secara khusus pada wilayah laut KTI yang merupakan bagian timur dari Benua Maritim Indonesia. 
Kawasan tersebut merupakan aset nasional yang memberikan harapan terhadap potensi sumberdaya alam nonhayati yang tersimpan di dalam laut dan lapisan di bawahnya. Namun sekaligus merupakan tantangan kita bersama, karena KTI terdiri dari laut dalam, dan tatanan geologinya rumit, sehingga memerlukan upaya dan modal yang lebih besar dibandingkan pengembangan di KBI.  
Di samping itu, kita semua harus dapat menerima kenyataan  bahwa aspek geologi kelautan di Indonesia relatif baru berkembang, sehingga masih banyak kekurangan-kekurangan yang harus kita sempurnakan bersama. 
Kekurangan nyata saat ini berkaitan dengan ketersediaan prasarana kapal riset dengan peralatan pengambilan data geologi terutama geofisika kelautan, masih harus dikomplemen bekerjasama dengan  pihak luar negeri, namun dengan senantiasa menekankan terhadap kepentingan-kepentingan nasional. 
Satu hal yang tidak dapat dipungkiri bahwa untuk dapat melakukan posisi tawar menawar dan diplomasi Iptek dengan pihak luar negeri, maka peran SDM geologi kelautan di mana pada strata pendidikan formal S3 hampir semuanya dihasilkan di luar negeri agar dapat memainkan posisi kunci.
Undang-undang Dasar 1945 pasal 33 ayat 3 menyatakan bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung  di dalamnya dikuasai oleh negara dan  dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Sidang Dewan Pengukuhan Ahli Peneliti Utama Yang Terhormat

Hadirin yang saya muliakan

Pada kesempatan yang baik ini, saya ingin mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada seluruh unsur pimpinan PPGL serta masyarakat kelautan Indonesia yang telah ikut berperan serta dalam menanamkan rasa bangga kepada saya untuk bisa menekuni bidang ilmu geologi kelautan, khususnya aspek tektonik regional dengan didukung teknologi geofisika dan sistem informasi geografi yang saya geluti.  
Ucapan terima kasih khusus saya sampaikan kepada rekan-rekan di BAPPENAS, BPPT, LEMIGAS, LIPI, PERTAMINA, BAKOSURTANAL, dan DISHIDROS yang telah bersama-sama berupaya mengangkat geosain kelautan yang ada di Indonesia menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari Perkembangan Sektor Kelautan dalam Pembangunan Jangka Panjang II (PJP II). Juga kepada seluruh kolega PPGL, dengan ini saya ucapkan atas segala bantuan dan apa saja yang telah diberikan kepada saya.
Ucapan terima kasih saya sampaikan kepada kedua orang tua saya, Bapak Mashadi Sastrohadipranoto, Alm. dan Ibu Hardiyati Mashadh atas doa serta kasih sayang kepada saya. Kepada kakak dan adik saya atas kekeluargaan yang dinamis. Kepada istri dan ketiga anak saya yang senantiasa melahirkan inspirasi seta motivasi baru, dan memberikan dorongan  moral serta penuh pengertian terhadap misi dan tantangan saya hadapi sebagai “Peneliti”.
Pada kesempatan ini saya juga ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada Prof. Eli Silver di University of California Santa Cruz, yang telah mengantarkan saya dengan bekal geologi kelautan untuk menghadapi tantangan tektonik tumbukan “Indo-Borderland” yang khas di KTI.
Kegiatan penelitian yang saya lakukan selama ini telah dibantu oleh Sistem Informasi Geofisika (SIG) dan Internet, sehingga kerumitan tatanan geologi kelautan KTI dapat dikelola dan disederhanakan dalam lingkungan komputer pribadi.
Akhirul kalam saya sampaikan terima kasih kepada Majelis Pengukuhan Ahli Peneliti Utama dan para hadirin yang dengan penuh perhatian telah bersedia mengahadiri pengukuhan ini.

Wabillahi Taufik wal Hidayah,

Wassalamualaikum Warahmatullahhi Wabarakatuh  


DAFTAR RIWAYAT HIDUP (1998)

Hardi Prasetyo lahir di Yogyakarta tanggal 8 April 1949 dari Bapak Mashadi Sastrohadipranoto dan Ibu Hardijati Mashadi. Menikah dengan Ning Murtiningsih dan dikaruniai 3 orang anak, yaitu: Purwanto Hesti Prasetyo, Dwinanto Hesti Prasetyo, dan Santa Hardiningsih.

Pendidikan

Tamat pendidikan Sekolah Dasar Negeri (1961), Sekolah Menengah  Pertama Negeri (1964), Sekolah Menengah Atas Negeri (1967) kesemuanya di Jakarta.
Pada tahun 1979, menyelesaikan Sarjana di Jurusan Geologi Universitas Padjadjaran, Bandung. Melanjutkan pendidikan pada Earth Sciences Board, University of California, Santa Cruz, Amerika Serikat, dan memperoleh gelar PhD bidang Earth Sciences tahun 1988.

Pendidikan Non Formal

1.           Tahun 1979, mengikuti kursus Marine Geology of Continental Margin di Scripps Institution of Oceanography (SIO) Universitas of California San Diego, Amerika Serikat
2.           Tahun 1981, mengikuti kursus Seismic Stratigraphy and Geophysics for Geologist di Singapura
3.           Tahun 1981-1982, mengikuti pelatihan Seafloor Geological Mapping di Lamont Doherty Geological Observatory (Columbia University), Wood Hole Oceanographic Institute (WHOI-MIT), Hawaii University, kesemuanya di Amerika Serikat
4.           Tahun 1988-1989, mengikuti program penelitian pasca-doktor mengenai pengembangan basis data dan informasi digital Geologi, Geofisika dan Tektonik Kawasan Timur Indonesia (KTI), di University of California, Santa Cruz, Amerika Serikat.

Pengalaman Kerja

Struktural
1.           Tahun 1976-1979, sebagai Asisten Ahli Geologi, Direktorat Geologi, Direktorat Jenderal Geologi, Departemen Pertambangan dan Energi
2.           Tahun 1979-1984, sebagai Ahli Geologi, Bidang Geologi Khusus, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Direktorat Jenderal Geologi dan Sumber Daya Mineral, Departemen Pertambangan dan Energi
3.           Tahun 1984-1993, sebagai Ahli Geologi Kelautan, pada Bidang Geologi Kelautan, Pusat Pengembangan Geologi Kelautan (PPGL), Direktorat Jenderal Geologi dan Sumber Daya Mineral
4.           Tahun 1993-1995, sebagai Ahli Geologi Kelautan, Bidang Geofisika Kelautan, Pusat Pengembangan Geologi Kelautan (PPGL)
5.           Tahun 1995-1998, sebagai Ahli Peneliti Utama (APU), pada Bidang Geologi Kelautan, Pusat Pengembangan Geologi Kelautan (PPGL)

Fungsional

Mulai 1 Januari 1995,memasuki jabatan fungsional peneliti sebagai Ahli Peneliti Utama (APU) bidang Geofisika Kelautan dengan nilai kredit 1057,7.
Publikasi Ilmiah


Publikasi Ilmiah

Telah menghasilkan lebih dari 221(dua ratus dua puluh satu) karya tulis, 113 (seratus tigabelas) diantaranya yang dipublikasikan atau diseminarkan baik di dalam dan luar negeri, mencakup karya tulis primer, tinjauan ilmiah dan pemacuan teknologi baik ditulis sendiri atau bersama. Sedangkan 108 (seratus delapan) karya tulis lainnya tidak/belum dipublikasikan.

Keanggotaan Organisasi Profesi

§    Tahun 1990-1993, Ketua Komisariat Wilayah Jawa Barat, Himpunan Ahli Geofisika Indonesia (HAGI)
§    Tahun 1993-1995, Pengurus Pusat (HAGI)
§    Tahun 1990-1994, Ketua Komisariat Wilayah Jawa Barat, Masyarakat Penginderaan Jauh Indonesia (MAPIN)
§    Tahun 1994-1998, Sekretaris Umum Pengurus Pusat  MAPIN
§    Tahun 1995-1998, Ketua Forum Masyarakat Kelautan Indonesia (FMKI)
§    Tahun 1995-1996, sebagai Pengurus Pusat Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI)
§    Tahun 1997-1998, Anggota Terpilih Dewan Geomatika Indonesia
§    Tahun 1998, terpilih sebagai Anggota Badan Persiapan Pembentukan Federasi Ahli Ilmu Kebumian (FAIK) yang didukung oleh tujuh organisasi profesi

Pengabdian Ilmiah

§    Tahun 1989-1998, sebagai Dosen Luar Biasa  di Sekolah Tinggi Teknologi Mineral Indonesia (STTMI)
§    Tahun 1989-1998, sebagai Dosen Luar Biasa  di Jurusan Geologi, di Universitas Pajajaran 
§    Tahun 1991-1998, membimbing mahasiswa S1 di UNPAD, ITB, UNHAS, ITS, UNDIP, ITENAS, STTMI
§    Tahun 1993-1998, membimbing S3, Program Pasca Sarjana di Universitas Padjadjaran
§    Tahun 1984, penguji Sidang  S3, Jurusan Geologi Kelautan di Paris University
§    Tahun 1986, penguji Sidang  S3, Program Pasca Sarjana ITB

Penghargaan Khusus

Tahun 1994, mendapatkan penghargaan dari Dewan Riset Nasional (DRN) sebagai Peneliti Terbaik, Bidang Ilmu Kebumian, Program Riset Unggulan Terpadu (RUT-1)

Pemasyarakatan, Pemacuan dan Inovasi Iptek

Pemasyarakatan
§  Memasyarakatkan Iptek meliputi pemuatan tulisan dalam majalah semi populer, anggota redaksi berbagai majalah ilmiah antara lain: Buletin MGI (PPGL), Sinyal (HAGI), Geofisika (HAGI), Warta Inderaja (MAPIN), serta sebagai redaksi ilmiah dari beberapa buku dan prosiding.
§  Menjadi pembicara dan pengajar tamu pada beberapa lembaga di luar negeri antara lain: Scripps Institution of Oceanography, United Geological Survey (USGS), Texaco (Houston Texas)Amerika Serikat, JICA Tsukuba (Jepang), dan University Paris VI (Perancis)
Pemacuan
§  Pemacuan teknologi diantaranya merancang dan melaksanakan pelatihan aplikasi Sistem Informasi Geografi (SIG) dan Internet Terpadu (SIGNET) untuk berbagi aspek penerapan baik di lingkungan organisasi profesi, lembaga pemerintah, umum, maupun industri
§  Telah membangun lima situs Home Page Informasi Kelautan Indonesia dan Penginderaan Jauh (MAPIN).
Inovasi
§  Tahun 1983, menerapkan dan menafsirkan citra dasar laut (seafloor image) teknologi pemetaan dasar laut melebar sistem SeaMARC II yang pertama kalinya diaplikasikan di Indonesia
§  Tahun 1983, mengambil contoh batuan dredging yang pertama kalinya berhasil di Laut Banda 
§  Tahun 1984, mengembangkan data dan informasi geologi dan geofisika kelautan dalam format ATLAS PPGL No. 1, dilanjutkan dengan nomor-nomor selanjutnya
§  Tahun 1986, menyusun dan mempublikasikan basis data batimetri dan fisiografi Indonesia, bekerjasama dengan USGS
§  Tahun 1989-1998, memprakarsai pengembangan Atlas dan Peta-Peta Digital Geologi dan Geofisika Kelautan, di PPGL
§  Tahun 1991, merancang dan menerapkan untuk pertama kalinya teknologi Sistem Informasi Geografis (SIG) untuk pengelolaan data Ekspedisi Toraja-91dengan kapal riset Baruna Jaya III
§  Tahun 1992, mengimplementasikan pertama kalinya teknologi penampang seismik dalam (deep seismic profiling) di Asia Tenggara dari Laut Banda sampai tepian benua Australia, bekerjasama dengan Cambridge University (Inggris)
§  Tahun 1993, menerapkan SIG untuk  pengelolaan basis data geologi dan geofisika di sekitar Zona Kerjasama Celah Timor (Timor Gap), bekerjasama dengan AGSO (Australia)

Keterlibatan pada kegiatan Profesional baik Nasional dan Internasional

§  Tahun 1990-1998, Koordinator Pokja Marine Geology and GeophysicsCommittee for Coastal and Offshore Geosciences Programmes in East and Southeast Asia (CCOP)
§  Tahun 1991, Anggota Tim Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) untuk pencari fakta Celah Timor di DPR-RI
§  Tahun 1992-1998, coordinator PPGL untuk Program Kelautan Nasional di KTI merangkap Anggota Panitia Pengembangan Riset dan Teknologi Kelautan serta Industri Maritim (PTK)
§  Tahun 1993, Tim Penyusun Naskah REPELITA VI, Sektor Kelautan
§  Tahun 1994, Nara Sumber untuk DPR-RI mengenai Marine Mineral Resources
§  Tahun 1994-1995, Anggota Tim Pengembang SIM DPE
§  Tahun 1995, Koordinator Pokja Masyarakat Kelautan Indonesia (MKI) untuk mengimplementasikan Seminar Kelautan Nasional dan menyusun masukan untuk Sarlita Kelautan PELITA VI
§  Tahun 1995-1998, Anggota Konsorsium Matematika dan Sains, Ditjen Dikti, Depdikbud
§  Tahun 1996, Koordinator Tim Penyusun “Konsepsi Benua Maritim Indonesia”, bersama Tim BPPT, WANHANKAMNAS serta menyampaikan naskah awal di LEMHANAS
§  Tahun 1997-1998, Anggota Tim Pakar Kebumian, Daerah Khusus Ibukota Jakarta
§  Tahun 1998, Ketua Pertemuan “round table” untuk menentukan proposal kerjasama Bidang Iptek dan Industri Kelautan antara Pemerintah Indonesia dan Kanada, dikoordinasikan oleh BPPT.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar